Foto Tari Perang ala Pulau Nias |
Tari Perang atau Foluaya merupakan lambang kesatria para pemuda di desa – desa di Nias, untuk melindungi desa dari ancaman musuh, yang diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ronda atau siskamling.
Pada saat ronda itu jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka
seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang,
seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang,
maka kepala musuh itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja, hal ini sudah tidak dilakukan lagi karna sudah tidak ada lagi perang suku di Nias.
Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aehohoi”yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak dan menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman, sambil membentuk tarian Fadohilia lalu menyerahkan binu itu kepada raja.
Setelah itu, raja menyambut para pasukan perang itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta besar-besaran. Lalu, raja menyerahkan Rai, yang dalam bahasa Indonesia seperti mahkota kepada prajurit itu.
Rai dalam suku Nias adalah merupakan tanda jasa kepada panglima perang. Tidak hanya Rai yang diberikan, emas beku juga diberikan kepada prajurit-prajurit lain yang juga telah ikut ambil bagian dalam membunuh musuh tadi.
Kemudian, raja memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu Bagaheni”, dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan dengan melompat-lompat lengkap dengan senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua orang prajurit yang saling berhadap-hadapan.
Seiring berkembangnya Zaman Tradisi ini dilakukan hanya pada hari hari tertentu atau untuk merayakan acara acara tertentu. [RD]