PERGAULAN YANG BURUK MERUSAK KEBIASAAN YANG BAIK

Judul diatas saya ambil dari kutipan ayat Alkitab yang rasanya cukup terkenal di kalangan umat Kristen. Dari 1 Korintus 15:33, tepatnya. 

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kemungkinan besar seluruh umat Kristen pernah mendengar ayat ini.
Mungkin tidak banyak yang tahu asal-muasal
ayat Alkitab ini, sefasih kita menghafal Yohanes 3:16 beserta isi-isinya. Karena, menurut hemat saya sih, ayat ini telah dikutip sedemikian rupa sehingga telah diimplementasikan ke dalam dunia sekuler melalui bahasa universal tanpa membawa embel-embel "Alkitab" di belakangnya. 

Contoh sederhana: "Jangan bergaul sama si Anu ya, dia tuh bandel, suka nyolong mangga tetangga, nanti kamu ikut-ikutan bandel kayak dia lagi!" pesan Mamaknya si Anu pada si Anu suatu hari. 

Diatas hanya merupakan contoh sederhana mengenai bagaimana paradigma masyarakat secara universal telah begitu melekat bahwa, kalau kita bergaul dengan seseorang yang memiliki sifat buruk, maka kita akan tertular kebiasaan buruk mereka, dan seluruh kebiasaan baik yang kita miliki dapat lenyap seiring berkembangnya akar sifat-sifat buruk yang kemudian mencabangkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk juga. 

Sudah banyak pula contoh nyata dari orang-orang yang pada awalnya menyandang titel 'anak baik-baik', kemudian langsung menyabet gelar 'berandalan', 'begajulan' dan masih banyak lagi begitu bergaul cukup lama dengan 'si buruk'. 

Begitu seriusnya para orang tua dalam menanggapi persoalan ini, sampai-sampai demi mempertahankan seorang anak pada status 'baik-baik'nya, orang tua pun membangun pagar yang sangat tinggi dan kokoh untuk sebisa mungkin membatasi anak mereka agar jangan sampai terjangkit virus "keburukan". 

Pengalaman pribadi sih, dari saya kecil, saya dibekali wejangan ini-itu mengenai pertemanan. Jangan berteman sama si ini supaya jangan begini, jangan berteman dengan si itu supaya jangan begitu. Dan tak jarang, ketika saya mencoba memanjat atau melompati pagar pembatas itu, saya memperoleh pukulan keras agar kapok dan kemudian menjauhi pagar batas tersebut. 

Jika ungkapan ini ternyata juga tersurat dalam Alkitab, tentu ungkapan ini tidaklah salah. Tentu 100% benar. Hanya saja, banyak yang, termasuk saya, masih menemui ambiguisitas antara yang baik dan yang buruk. Sebetulnya seperti apa sih pergaulan yang buruk itu? Terus yang bisa dikategorikan "baik" apa saja sih? Seringkali orang tua membatasi ruang gerak anak agar tidak tertular segala yang buruk tanpa memberi garis yang tegas mengenai mana yang baik dan mana yang buruk. Dan, tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu secara gamblang mengenai akibat dari pergaulan yang buruk tersebut. 

Hal inilah yang ternyata, banyak menjebak anak pada pergaulan yang "buruk". "Jangan bergaul sama si itu yah! Dia itu bapaknya penadah loh!" Jika hanya dibekali informasi sesempit itu, dalam benak saya sebagai seorang anak hanya terbersit: "So what? Terus kenapa kalo bapaknya penadah? Masbugue(masalah buat gueh)gitu? Kan gue bertemen sama anaknya bukan bapaknya." Kita asumsikan si anak sudah mengerti apa arti penadah. 

Masalahnya, jika hanya memberi nasehat yang dangkal tanpa detail yang rinci, boro-boro mendengarkan, yang timbul dalam hati anak hanya penyangkalan demi penyangkalan yang kemudian mementalkan nasehat tersebut menjadi kata-kata tanpa arti. Jika Anda orang tua yang bijak, sebaiknya Anda menyampaikan dengan jelas apa, mengapa, bagaimana, dan sebab-akibatnya dari pesan tersebut. 

Mungkin jika anak Anda si jugul seperti saya, ia akan tetap menyangkal pada awalnya, namun ketika di pertengahan atau akhir ia merasakan dampak dan kebenaran dari pesan Anda, ia pada akhirnya akan menerima dan percaya. 

Nah, masalahnya, kalau sudah terlambat bagaimana? Hmmm... bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Lantas, bagaimana jika dibalik? Pergaulan yang baik memperbaiki kebiasaan yang buruk? Jadi, kita perlu bergaul dengan si buruk agar tertular oleh 'bibit baik' dari kita.

Well, bukan tidak mungkin sih... Tapi kayaknya yang kedua ini hanya mudah diucap di lidah, tidak diiringi dengan kenyataan yang seimbang. Logikanya gini deh, siapa sih yang mau mencontoh kebiasaan yang baik? Yang namanya baik itu, pasti gak enak. Gak gampang. Gak asyik. Mau contoh? Mandi 2x dalam sehari, sikat gigi 3x dalam sehari, belajar setiap malam, makan makanan yang bergizi dan seimbang, membersihkan kamar(sapu, pel)setiap hari, dan masih banyak lagi. 

Sejatinya, kalau bukan karena takut sama orang tua atau takut menghadapi resiko kalau tidak melakukan hal-hal tersebut, siapa mau jadi orang baik? Capek! Contoh sederhana, ada dua orang anak, namanya Budi dan Anto. Budi adalah anak baik. Hidupnya teratur, nurut sama orang tua, rajin dan berprestasi di sekolah. Pokoknya kebanggaan orang tua deh. Sedangkan si Anto adalah begajulan yang superrr pemalesss. Males mandi, males beresin kamar, males bikin PR, males bangun pagi, males sekolah, males belajar, pokoknya serba males deh. 

Singkat cerita akhirnya Budi dan Anto bersahabat. Pada akhirnya, Budi pun ikutan jadi males seperti Anto. Contoh diatas adalah sinopsis penyederhanaan dari peristiwa di kehidupan sehari-hari yang kerap kali terjadi di sekitar kita. Mengapa berakhir dengan Budi yang mengikuti kebiasaan Anto, bukan sebaliknya? Kita telaah melalui logika sederhana. Pada awalnya mungkin Budi merasa asing dan terganggu dengan sifat dan kebiasaan Anto yang bertolak belakang dengan dirinya. 

Namun, setelah sekian lama berteman dengan Anto, Budi melihat bahwa dengan pola hidup seperti itu Anto ternyata tetap hidup juga, sama seperti dia. Anto berada dalam level yang sama dengan Budi, meski tidak harus melalui proses kehidupan yang melelahkan sekaligus merepotkan seperti yang Budi jalani. 

Akhirnya Budi merasa rugi, ngapain capek-capek jadi anak rajin? Toh si Anto yang males hidupnya seneng-seneng aja tuh, dia main PS seharian, sementara gue les 4 jam dalem sehari, belajar 2 jam dalem sehari. Kalo dapet nilai jelek, doi masih bisa remed, dan nilainya akhirnya ga beda jauh dari gue, misalkan gue 96 doi 70(soalnya KKMnya 70). Bego amat gue capek-capek selama ini. Paradigma berpikir seperti ini yang umumnya muncul ketika seseorang dengan sifat, sikap serta kebiasaan yang baik bertubrukkan dengan yang buruk. 

Karena pada umumnya, segala yang baik tidak ada yang enak di mata dunia. Meski sebetulnya efek-efek dari perilaku baik pasti akan dituai di kemudian hari dalam jangka waktu panjang, begitupun sebaliknya. Sedangkan pribadi-pribadi dengan perilaku yang buruk cenderung terlanjur merasa nyaman dengan perilaku buruk mereka, sehingga akan sulit untuk berbalik pada kebiasaan yang baik. 

Apalagi biasanya orang-orang dengan kebiasaan buruk punya sejuta alasan yang masuk akal untuk membenarkan dirinya. Jadi, setujukah Anda bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik? Saya setuju. Karena pergaulan yang buruk seperti bisa, ketika telah masuk ke dalam, akan meracuni dan sulit untuk dikeluarkan. Bukan berarti kita harus memusuhi orang-orang dengan perilaku yang buruk. Karena Tuhan Yesus berfirman, bahwa bukan orang sehat yang butuh tabib, melainkan orang sakit. 

Oleh karena itu, berteman sah-sah saja, asal kita memahami betul-betul batasan yang jelas antara yang baik dan yang buruk serta akibat yang ditimbulkan dari kebiasaan yang buruk tersebut. Kalau menurut saya sih, berteman beda dengan bergaul, karena ketika bergaul, kita menyelami perilaku dan kebiasaan masing-masing yang berujung pada pendar pengaruh antar satu sama lain. Ingat, pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik, namun segala yang baik tidak egois dan individualis ;) 

 "Selamat merusak kebiasaan yang buruk!"
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah Komentar, Dan Berkomentarlah dengan Baik dan Sopan...
Artikel ini telah saya Kunci, kalau Anda membutuhkannya, Silahkan Anda Komentari dan Artikel Ini akan saya Buka Kembali...