Akhir2 ini orang2 ribut karena kebijakan ibu menkes yg memutuskan untuk membagi2kan kondom kepada para pelajar. Kurang begitu jelas kenapa hal itu bisa menyebabkan keributan.
Entah karena pembagian yg kurang merata, sehingga muncul protes atau serangan balik dari yg tidak kebagian? Atau barangkali juga karena ada yg merasa didahului dalam bertindak, padahal merasa mampu memberikan sesuatu yg lebih baik daripada sekedar kondom? Buyung belum begitu paham.
Entah karena pembagian yg kurang merata, sehingga muncul protes atau serangan balik dari yg tidak kebagian? Atau barangkali juga karena ada yg merasa didahului dalam bertindak, padahal merasa mampu memberikan sesuatu yg lebih baik daripada sekedar kondom? Buyung belum begitu paham.
Lalu tiba2 saja ibu menkes sebagai pembuat kebijakan sudah menjadi bulan2an karena dinilai membuat kebijakan yg tidak benar.
Padahal siapa yg tahu mengenai sudut pandang kebenaran yg digunakan ibu menkes? Bisa saja persoalan benar dan salah pun ternyata antara kita dg beliau menggunakan sumber yg berbeda. Benar dan salah tergantung kepada jenis kunci jawaban masing2.
Jika dikatakan beliau kurang bijak, si buyung akan bertanya, apakah kita bisa memaksa orang lain untuk jadi lebih bijak, sementara dia sudah sampai ke batas kemampuannya untuk menjadi bijak?Setiap orang punya kelemahan dan kekurangan.
Maka dari itu kita perlu bekerjasama dan saling mengisi. Saling tuding dan hujat memang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Daripada melimpahkan semua tanggung jawab untuk menjadi bijak kepada ibu menkes, lebih baik kita langsung saja menggarap wilayah yg belum tersentuh oleh kebijakan tersebut. Sebab itu adalah celah yg memberikan kesempatan kepada kita untuk beribadah.
Merasa kasihan kepada ibu menkes, lalu si buyung mencoba mengupasnya dari sudut pandang berbeda.
Di balik topeng gelap yg dipakai oleh ibu menkes menyangkut kondomisasi, jika kita pandang dengan teliti, kita akan menemukan seberkas cahaya tersembunyi. Di balik kebijakan yg seolah2 menabrak nilai dan norma yg berlaku dalam masyarakat tersebut, tersembunyi niat dan prasangka baik beliau.
Memang sesuatu yg disembunyikan tidak lantas semua orang mampu melihatnya. Marilah kita kupas bersama2..
Menurut perkiraan si buyung, asumsi dasar dari kebijakan itu adalah bahwa orang timur peka terhadap sindiran. jadi maksud pembagian kondom untuk kaum terpelajar itu tak lain adalah sebagai sindiran kepada kita semua. pembagian kondom gratis itu menyiratkan; "jika perilaku seksmu tidak bisa lagi dikontrol oleh agamamu, moralmu, akal sehatmu, kebudayaanmu, dll.
Maka gunakanlah kondom, setidaknya untuk membantu saya dalam mengurangi resiko penyebaran penyakit kelamin. Saya yakin kamu mau membantu saya..". Ini juga sindiran untuk para orang tua, yg kira2 bunyinya, "untuk para orang tua tidak lagi mampu mengawasi pergaulan anak2 mereka, saya akan menyediakan kondom gratis untuk anak2nya..".
Sebagai orang timur yg peka terhadap sindiran tentu kita akan malu mengambil atau menerima kondom gratis tersebut. Kecuali jika kita sudah berpikiran agak 'maju' dan meninggalkan adat ketimuran, atau barangkali jika termasuk kepada yg telah berhasil membuang rasa malu, mungkin juga karena telah berhasil berevolusi menjadi makhluk tanpa rasa malu, maka sindiran seperti itu tentu tidak akan berhasil.
Tapi yg jelas ibu menkes sudah berprasangka baik bahwa kita peka terhadap sindiran. Lalu apakah kemudian pada kenyataannya yg peka terhadap sindiran ternyata lebih sedikit daripada yg tidak mengerti sama sekali? Mari kita tanyakan kepada diri kita masing2.
Gema dari kondomisasi tersebut juga telah membangunkan kaum agamawan. Mereka serentak terbangun dari tidur. Sebahagian, merenung.
Sebahagian antara sadar dan tidak dg apa yg sebenarnya terjadi. Sebahagian langsung marah2 melihat kenyataan yg ditunjukkan oleh ibu menkes, bahwa ternyata masih banyak ummat yg suka sekali melakukan seks bebas. Mudah2an mereka juga tidak lupa untuk memarahi dirinya sendiri, karena telah gagal menasehati dan mengajari ummat tentang kebaikan. Meskipun sebagian ada juga yg kemudian memilih untuk memarahi ibu menkes. “ibu menkes bertindak seolah2 dirinya adalah setan, sengaja memperberat tugas kami memperbaiki akhlak ummat..!” kata mereka.
Yang demikian itu agak mirip dg perangai si buyung yg suka melempari ayam jago yg berkokok sebelum subuh dg sendal, karena dianggap telah berani mengganggu tidurnya yg nyenyak. Padahal mestinya si buyung berterimakasih kepada si ayam jago, karena sudah dibangunkannya dari tidur, syukur2 kalau kemudian melihat peluang untuk melakukan ibadah yg lain, sholat subuh..
Tak ketinggalan para anggota perguruan fesbuk. Ramai juga yg ikut ribut, lalu sibuk menulisi dinding dg pendapatnya masing2.
“kalau angka penderita HIV/AIDS meledak menkes juga yg disalahin.. lebih banyak yg senang menyalahkan daripada kasih solusi..” kata gadis di suatu senja.
“semua orang sudah memberikan solusi dg caranya dan sebatas pemahamannya, kemampuannya dan kepentingannya masing2. Menkes sudah kasih solusi. Orang2 yg tidak setuju sudah kasih solusi. Orang yg marah2 di fesbuk juga sudah kasih solusi, meskipun tujuan sebenarnya adalah untuk menarik perhatian pujaan hati, atau sekedar berharap dapat jempol sebanyak2nya.. Paling tidak itu sudah menjadi solusi untuk keadaan dirinya masing2, sesuai dg tujuan dan misi politisnya masing2 hi3..” kata buyung.
“jika ada orang yg harus saya puji, beliau adalah ibu menkes. Beliau rela menggelapkan diri agar orang dapat membedakan gelap dg terang. Jika ada yg butuh kambing hitam, beliau bersedia untuk dikambing hitamkan. itu sangat mengagumkan bagi saya. Seolah berkata; akulah kegelapan, segeralah kalian berlari menuju cahaya..” pungkasnya. Ah, dasar si buyung. Selalu bermanis2 kata kalau berbicara dg seorang gadis. Jangan2 itu ada misi politisnya juga!